Cerpen Idwar Anwar
DI DALAM gubuknya yang reyot, di dalam bilik yang tidak terlalu luas dengan sebuah
ranjang tua, Dullah terbaring berselimutkan kain kusam. Tak seorang pun
menemaninya. Sejak istrinya meninggal
dua tahun lalu, ia hidup sebatang kara. Kasim, anaknya yang semata wayang pun, setahun lalu telah mendahuluinya. Di pinggiran desa yang sangat terpencil, lelaki
berusia 70 tahun itu menghabiskan sisa-sisa
hidupnya.
Dullah masih terbaring letai. Wajahnya
lesi. Tubuhnya nampak kurus dibalut pakaian yang beberapa hari tak pernah
digantinya. Sejak tiga hari lalu, Dullah merasa seluruh tubuhnya terasa sakit
dan sangat sulit digerakkan. Ia tak pernah ke luar rumah. Selama itu pula, tak satu pun penduduk yang
datang menjenguknya. Jarak gubuknya dari rumah-rumah penduduk memang cukup
jauh.
Di luar angin berhembus, disertai renai
hujan yang turun sejak menjelang petang. Daun-daun berjatuhan dan bayangan
pepohonan yang tumbuh di pekarangan, terlihat laksana sosok raksasa yang
berdiri angkuh. Suara serangga malam mulai bernyanyi. Perlahan Dullah
menggerakkan tubuhnya dan beranjak menuju jendela. Sejenak pandanganya mengembara
di halaman rumahnya yang nampak kotor oleh dedaunan yang berserakan. Ia
menghela nafas. Matanya terpejam sesaat, lalu menutup jendela perlahan. Suara
jendela menderit.
Dullah kembali merebahkan tubuhnya.
Ditariknya selimut. Di luar, kegelapan semakin menggelayut. Detap-detap
renai hujan masih terdengar menimpa atap
rumbia, menetes dan meletis membasahi
lantai kamar yang dingin. Dari celah-celah jendela, angin mendesir dan menyusup
menerpa tubuh Dullah yang kian lemah. Sesekali ia menarik nafas panjang. Begitu
berat. Bibirnya bergetar.
Malam bertambah pekat. Angin mendesut dan
meluruhkan dedaunan. Pohon-pohon bergerak saling bertabrakan. Dullah makin
mendekap selimut yang menutupi tubuhnya. Bibirnya bergetar dan wajahnya kian lesi.
Matanya sesekali terbuka. Dilihatnya jendela yang semula telah ditutupnya,
tiba-tiba terkuak. Ada cahaya yang melesat masuk ke kamarnya. Satu, dua, tiga,
cahaya itu bahkan bertambah banyak, hingga memenuhi biliknya. Dullah hanya
menatapnya tanpa ekspresi.
“Siapa
kalian?” Suaranya begitu lemah.
Cahaya-cahaya itu hanya berputar, bermain,
seolah saling berkejaran. Bahkan sesekali mencecah tubuh Dullah.
“Siapa kalian? Dari mana? Mau apa?”
Tak ada jawaban. Cahaya-cahaya itu masih
terus berputar-putar dan sesekali melesat keluar dan pudar di kegelapan, di
antara gerimis dan dedaunan yang terlepas dari tangkainya.
“Mengapa kalian hanya diam?” Suara Dullah terdengar
lemah. Ia berusaha bangkit, tapi tak mampu. Tubuhnya terasa berat. Angin dingin
yang menerobos melalui jendela menggigilkan tubuhnya.
Di antara jaring-jaring laba-laba yang
banyak menggelayut di langit-langit biliknya, cahaya-cahaya itu terus saja
berputar, seolah bermain begitu riang. Cahaya-cahaya itu semakin banyak. Dullah
kembali berusaha bangkit. Tapi tetap tak mampu. Tubuhnya terasa berat. Bibirnya
yang pucat bergetar.
“Siapa kalian?” Suaranya berat, bergetar
dan semakin lemah, bahkan hampir tak terdengar.
“Kami dari langit dan ingin menemanimu.”
“Tapi aku tak butuh ditemani oleh kalian.
Aku hanya butuh istri dan anakku. Aku tak butuh kalian.”
“Kami ingin mengantarmu menemui istri dan
anakmu.”
“Tapi mereka telah tiada. Mereka telah
lama dipanggil. Aku tak mungkin lagi dapat melihatnya.”
“Kami ingin mengantarmu menemui mereka.
Mereka juga sangat merindukanmu. Dan kamu diperkenankan untuk bertemu mereka.”
“Betulkah...?”
Belum sempat Dullah meneruskan
kata-katanya, dengan sekejap cahaya-cahaya itu menyelubungi tubuhnya. Tubuh
renta itu pun melayang perlahan. Dullah merasa tubuhnya begitu ringan. Ia
melayang terus ke langit, di antara renai hujan dan angin yang bertiup kencang.
Dilihatnya angin saling berkejaran di antara hujan yang melintasinya dan tak
membuatnya basah.
Tubuh Dullah terus melayang meningkahi lintasan
spektrum tanpa batas. Terbang melintasi cakrawala, ringan bagai kapas. Lalu
perlahan cahaya-cahaya itu satu persatu melesat meninggalkan tubuhnya. Semua
terbang seperti bermain dan bersendagurau. Ia merasakan kesejukan tatkala
cahaya-cahaya yang menemaninya mencecah tubuhnya dan setiap sentuhan ada
getaran yang tersisa. Tubuh Dullah melayang menyusuri langit. Benderang di
sana-sini.
Dilihatnya ke bawah. Tubuhnya masih
terbaring berselimut kain kusam pemberian istrinya sewaktu sakit. Ia melihat
ruang dan waktu terpenjara. Jauh…. Waktu menggapai-gapai. Ia pun terus saja melayang dan hinggap di
alam lain yang sungguh begitu asing baginya. Pandangannya menyapu alam yang
begitu aneh. Tak ada sesuatu pun yang sama dengannya. Binatang dan semua wujud yang pernah ada dalam memorinya tak ia temukan di sini. Semuanya hanya cahaya
yang beterbangan kian kemari.
“Alam ini hanya dipenuhi oleh cahaya.
Semuanya hanya cahaya. Sama seperti cahaya-cahaya yang bermunculan di bilik
kamarku.” Ia kebingungan. Ditebarkannya kembali pandangannya. Yang ada hanya
cahaya-cahaya yang bergerak tak teratur. Dan cahaya yang semula menemaninya pun
tak ia kenali.
Cahaya-cahaya itu terus saja bermain dan
seolah saling berkejaran. Dullah merasa semakin aneh di alam yang baru
dilihatnya. Tak ada yang ia kenali. Cahaya-cahaya itu
semuanya sama. Semuanya meningkahi alam yang tak pernah ia saksikan selama ini,
bahkan dalam mimpi sekali pun.
“Di mana anak dan istriku, katamu!” teriaknya ke arah kerumunan cahaya-cahaya di
hadapannya.
Tak ada jawaban. Cahaya-cahaya itu masih
saja beterbangan. Begitu banyak, seolah memenuhi alam.
“Di mana istri dan anakku?” Kembali Dullah
berteriak. Semakin keras, hingga
terbatuk-batuk.
“Bapak, aku di sini.”
“Suamiku, aku di sini.”
Dua titik cahaya melesat menghampirinya.
Dullah terperanjat. Suara yang selama ini begitu akrab di telinganya menggema,
begitu jelas seakan pemilik suara itu tengah berdiri di sampingnya. Ia menatap
dua buah cahaya yang melesat dan semakin dekat. Kedua cahaya itu sejenak
berputar dan seketika keduanya berubah menjadi sosok manusia seperti dirinya.
Dullah terperangah. Dilihatnya istri dan anaknya telah berdiri di hadapannya.
“Mengapa kalian berada di sini?”
“Kami memang dikumpulkan di sini.”
“Kalian baik-baik saja?”
“Kami baik-baik saja.”
Dullah dengan penuh kerinduan menghambur
ke arah istri dan anaknya. Orang tua itu ingin memeluk keduanya. Dullah begitu
gembira dapat bertemu orang yang sangat dicintainya. Hingga tanpa ia sadari
kedua bola matanya sembab.
“Aku begitu merindukan kalian.”
“Tapi mengapa bapak ada di sini?”
“Entahlah. Sebetulnya saat ini aku sedang
sakit. Tapi entah dari mana datangnya, kulihat satu persatu cahaya masuk ke
dalam bilikku. Cahaya-cahaya itu semakin lama bertambah banyak dan memenuhi
kamar. Aku seperti terkurung dan tak dapat bergerak. Lalu, aku bertanya tentang
mereka. Mereka kemudian berjanji akan mempertemukan aku dengan kalian. Aku
begitu senang. Lalu tiba-tiba, smuanya terjadi begitu saja, aku merasa diriku begitu
ringan. Aku melayang perlahan. Kulihat tubuhku masih terbaring. Dan aku melesat
dengan cepat melintasi cakrawala. Cahaya-cahaya yang semula menemaniku satu
persatu meninggalkan tubuhku.” Dullah terus menuturkan pengalamannya yang ia
rasakan begitu aneh.
Istri dan anaknya hanya terdiam.
Ditatapnya wajah orang yang dicintainya. Ada rasa iba yang terlihat di wajah
mereka.
“Kami juga sangat merindukan bapak. Kami
selalu memohon, agar bapak segera dipanggil dan kita dapat berkumpul di tempat
ini.” Istrinya menatap Dulla begitu iba.
“Bagaimana keadaan istriku,” tanya Kasim,
anaknya.
“Surti juga telah pergi, sebulan yang lalu.
Apakah kalian tak pernah melihatnya?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, di mana ia sekarang? Aku
juga ingin melihatnya!”
“Ia tak pernah bersama kami. Mungkin ia
masih di bawah sana,” jawab istrinya sembari menunjuk ke arah tempat yang
begitu gelap.
Dullah hanya terpaku mengikuti arah
telunjuk istrinya. Ia tak mengerti. Dilihatnya hanya kegelapan.
“Tempat apa itu?”
“Tempat penyucian diri,” jawab keduanya hampir bersamaan.
“Apa yang terjadi dengan Surti?”
“Entahlah. Tapi mungkin ia harus disucikan
terlebih dahulu sebelum dibawa ke tempat ini.”
Orang tua itu masih tidak mengerti. Ia
hanya terdiam. Mulutnya seperti terkunci. Hanya matanya yang tak pernah lepas
menatap istri dan anaknya.
Diam. Hanya itu yang mampu Dullah lakukan.
Begitu banyak yang tak ia mengerti tentang keadaannya sendiri. Terlebih lagi tentang
keadaan istri dan anaknya. Atau tentang keberadaan cahaya-cahaya yang yang
begitu banyak yang dilihatnya. Ia benar-benar tak mengerti.
Dullah tak mengerti, kerinduan macam apa
yang telah menggerayangi dirinya. ia teka mengerti lagi akan dirinya. Semuanya
berjalan begitu saja.
Hingga….
“Waktunya telah habis. Kami harus kembali.
Bapak juga harus kembali.” Lalu kedua orang yang dicintainya itu menjelma
cahaya dan melesat meninggalkan Dullah yang hanya mampu menatap diam.
Dullah masih saja terpaku. Ia seakan tak
percaya pertemuan dengan orang yang dicintainya, hingga seberkas cahaya
seketika menyelimutinya. Kehangatan terasa menyusup tiba-tiba. Dan ia pun
melesat ke bawah meninggalkan cahaya-cahaya. Meninggalkan orang yang
dicintainya yang berada di antara
cahaya-cahaya itu.
Tubuh Dullah terus melesat menjauhi
cahaya-cahaya. Ia seakan ditarik dan dihempaskan. Tersentak. Ada sesuatu yang
begitu aneh yang lelaki tua itu rasakan. Dullah melayang melintasi cakrawala.
Dilihatnya gubuk dan tubuhnya yang masih terbaring. Ia tiba-tiba meronta sekuat
tenaga. Dullah tak ingin kembali. Lelaki
tua itu ingin pergi bersama istri dan anaknya. Ia tak ingin kembali ke
jasadnya. Dengan semua kekuatannya, Dullah terus meronta, membolak-balik dirinya,
berusaha lepas dari cahaya yang menyelimutinya.
“Lepaskan aku. Aku tidak mau kembali. Aku
ingin pergi bersama istri dan anakku. Aku ingin menemani mereka.
Lepaskan….,” teriaknya.
Kakinya menendang-nendang. Dullah menjerit
sekencang-kencangnya. Tapi cahaya itu terus menyelimutinya. Ia terus menyelinap
di antara angin dan dedaunan, lalu masuk ke dalam biliknya.
Tubuhnya
seketika terasa berat. Dullah
terhenyak.
“Mengapa aku berada di sini. Bukankah….”
Cepat-cepat Dullah menebarkan pandangannya
ke seluruh ruang biliknya. Hanya cahaya yang berpendar begitu menyilaukan yang
bertengger di antara jaring-jaring laba-laba. Orang tua itu memicingkan mata.
Cahaya itu telah menghalangi pandangannya.
“Mengapa kalian kembalikan aku,” hardiknya.
Sekuat tenaga ia berusaha bangkit, lalu menunjuk-nunjuk ke arah cahaya di
hadapannya. Namun tak ada jawaban.
“Mengapa kalian tega berbuat itu padaku.
Kalian begitu tega membawaku kembali ke jasadku. Aku ingin bertemu kembali
dengan istri dan anakku. Aku tak mau kembali ke sini. Jasad ini telah
membelengguku puluhan tahun.” Ia terus menghardik, sembari berusaha bangkit.
Tangannya menuding-nuding ke arah cahaya di depannnya.
“Kembalikan aku. Aku ingin bertemu Dia.
Aku ingin bertemu….” Matanya seketika sembab. Dullah terus saja berteriak ke
arah cahaya yang masih juga terdiam. Teriakannya semakin lama kian melemah.
Akhirnya, ia pun terkulai.
Lalu cahaya itu dengan cepat menerjang
tubuh Dullah. Ia berputar mengelilingi
tubuh tua yang terkulai tanpa daya itu.
“Dullah. Bangunlah. Kita akan kembali ke
langit. Bukankah itu yang kau inginkan. Kerinduan akan Sang Kekasih itu telah
membuat dirimu menjadi penghuni taman-taman indahnya.”
Perlahan Dullah bangkit, lalu melayang
meninggalkan tubuhnya bersama cahaya yang menyelimuti. Ia melesat dan larut di
malam yang pekat. Wajahnya nampak bercahaya. Angin yang sedari tadi berhembus,
seketika mati. Di luar pepohonan tak satu pun yang bergerak. Bayangan dedaunan
yang luruh disinari cahaya bulan, beku. Suara serangga malam tak lagi
bernyanyi. Semuanya diam. Senyap. Malam yang hening. Oke
0 comment